Mempertanyakan Konsistensi Elit-elit Gelora Soal Keadilan Demokrasi


Oleh: Shobri, S.H.I., M.E.I
Kader Partai Gelora

TendaBesar.Com - Jakarta - Sebelumnya penulis ingin menyampaikan bahwa di Partai Gelora yang dikedepankan adalah bersikap kritis terhadap kebijakan apapun dan oleh siapapun selama tidak sejalan dengan kehendak rakyat. Karena sikap kritis itu membuat kader Gelora terus berpikir dan menyumbangkan ide-ide briliannya untuk memberikan pencerahan atau scond opinion kepada masyarakat.

Sebelum memberikan koreksi terhadap rilis Gelora belakangan ini terkait keputusan MK tentang ambang batas pilkada, penulis ingin menegaskan bahwa hingga detik ini penulis adalah Kader partai Gelora dengan NIA 320134100001 yang terlibat membesarkan Gelora di Kabupaten Bogor sejak awal berbentuk sebuah organisasi gerakan Arah Baru (GARBI) hingga menjadi partai Politik Peserta Pemilu.

Membaca dua rilis terakhir partai Gelora yang menyayangkan keputusan MK, penulis merasa ada sesuatu yang aneh dari sikap elit partai Gelora. Mestinya putusan MK tersebut menjadi berkah yang harus dikapitalisasi oleh Gelora, alih-alih memanfaatkan berkah tersebut, malah elit Gelora berpotensi menjadikan partai ini menjadi partai gurem sepanjang zaman. Mengapa demikian? Mari kita simak rilissnya!

Dalam rilis resminya pada Rabu, 21 Agustus 2024 dengan head line " MK Memutuskan Hal yang Tidak Dimohonkan" partai Gelora melalui sekjennya Mahfuz Sidik menyampaikan lima hal antara lain:

Pertama; Menerima putusan MK tentang dihapusnya ketentuan dalam UU Pemilihan Kepala Daerah pasal 40 ayat 3 yang mengatur bahwa pengusulan pasangan calon kepala daerah "hanya berlaku untuk partai politik yang memperoleh kursi di DPRD". MK menyatakan hal ini bertentangan dengan konstitusi. Hal ini adalah pokok materi gugatan dari Partai Gelora.

Dalam hal ini Gelora sejalan dengan keinginan seluruh rakyat Indonesia yang menghendaki adanya keadilan dalam sistem pemilu di republik ini. Sebab meskipun menggunakan sistem demokrasi, namun Indonesia pemilunya serasa seperti sistem teokrasi dimana hanya partai besar yang mampu bersaing dalam berbagai event pemilu, sementara partai kecil hanya sebagai tim hore yang tidak berarti.

Sementara pada point Kedua,  Partai Gelora ⁠mempertanyakan putusan MK yang menghapus ketentuan tentang ambang batas (treshold) syarat pencalonan kepala daerah, yaitu 20% kursi dan atau 25% suara, dan membuat norma pengaturan baru tentang syarat pencalonan berdasarkan jumlah penduduk dan prosentase suara sah partai, yang mana hal ini sangat menguntungkan bagi Gelora.Namun Mahfuz sidik justru mengatakan jika hal ini amat disayangkan karena tidak masuk dalam permohonan.

Dalam rilis point ke dua ini penulis justru bingung dengan alur pikir Gelora. Secara logika sehat, MK telah membantu partai-partai kecil (gurem) seperti Gelora untuk memiliki kesempatan mengusung orang-orang terbaiknya dalam pilkada Indonesia, tapi Gelora malah menginginkan tetap pada 20% kursi dan atau 25% suara. Ini elit Gelora waras atau kelewat waras? 

Keputusan MK, khususnya poin dua ini mestinya disyukuri oleh Gelora, karena sekali mendayung dua pulau terlampaui. Dengan kata lain tidak perlu bolak-balik melakukan uji materi untuk mendapatkan keadilan demokrasi yang sesungguhnya. Putusan ini membuatkan jalan yang lebar untuk partai kecil idealis seperti Gelora agar dapat lebih maksimal berkontribusi untuk Indonesia menjadi kekuatan 5 besar dunia. Tapi dengan rilis ini elit Gelora justru memperlihatkan sikap abnormal terhadap putusan MK-tersebut.

Di satu sisi Wakil  Ketua Gelora, Fahri Hamzah jauh hari sebelumnya lantang menyuarakan di banyak kesempatan, bahwa Gelora menginginkan agar treshold pilpres juga pilkada itu nol persen. Alasannya negara harus memberikan kesempatan seluas-luasanya kepada kader-kader terbaik bangsa untuk bisa bertarung dan duduk dalam pangku kekuasaan. Tapi dengan rilis ini seolah Gelora plin-plan memperjuangkan keadilan demokrasi.

Kemudian pada poin ke Tiga, Gelora menilai bahwa MK telah melakukan tindakan Ultra Petita dengan memutus obyek perkara yang tidak diajukan oleh pemohon (pada pasal 40 ayat 1 UU Pilkada). Gelora lanjutkan pada poin empat dimana Gelora menuduh MK melakukan ⁠pengaturan norma baru tentang persyaratan pencalonan kepala daerah yang menimbulkan ketidakpastian hukum baru.

Lagi-lagi penulis tercengang dengan pernyataan ini. Kok bisa Gelora bersuara kencang pada putusan MK tentang pilkada saat ini yang justru menguntungkan bagi Gelora, sementara tidak melakukan hal yang sama pada saat putusan MA melakukan pemerkosaan hukum demi meloloskan ponakannya yang berstatus anak penguasa menjadi calon  wakil presiden pada kasus hukum pilpres 2024 sebelumnya. Padahal jika momentum ini dikapitalisasi oleh Gelora, akan sangat berdampak pada elektabilitas Gelora kedepannya, sebab di banyak plat form media sosial icon Fahri Hamzah justru viral sebagai pahlawan demokrasi.

Selanjutnya Gelora menganggap bahwa putusan MK ini menimbulkan ketidak pastian hukum, justru penulis melihat putusan ini malah memberikan kepastian hukum yang sepati-pastinya, tidak multi tafsir apalagi membingungkan. Dibuat serinci mungkin sehingga jauh dari kata menimbulkan ketidak pastian atau membingungkan. Maka sekali lagi penulis mempertanyakan apakah elit Gelora waras atau malah kelewat waras dalam hal ini.  

Tidak cukup dengan rilis di atas, bahkan Partai Gelora kembali melakukan rilis  ke dua pada Rabu (28/8/2024) sore, head linenya penulis nilai cukup propokatif yakni "Partai Gelora Dorong MK Dikembalikan ke Tupoksinya, DPR akan Evaluasi Posisi MK, Pengamat Minta MK Dibubarkan".

Dalam rilis ini Mahfuz Sidik mengatakan bahwa putusan MK tersebut telah menimbulkan turbulensi politik yang dashyat yakni mengubah peta Pilkada 2024. Meski demikian akibat dari Putusan MK tersebut Partai Gelora sesungguhnya kebagian berkah dimana pada awalnya partai Gelora hanya mengeluarkan surat rekomendasi B1KWK, SK pencalonan kepala daerah hanya 55 rekomendasi, namun setelah putusan MK menjadi lebih dari 300-an rekomendasi.

Penulis lagi-lagi tidak mengerti alur berpikir sekjen Gelora Mahfuz Sidik. Sebab yang namanya turbulensi itu, seringkali menghadirkan bencana, tapi dalam putusan MK ini yang dihadirkan bukan bencana melainkan berkah bagi partai Gurem yang selama ini hanya dipandang sebagai tim hore baik dalam pilpres maupun di pilkada. Putusan MK tersebut mengakomodir keinginan para akademisi, para pakar politik, pakar hukum dan yang utama adalah sejalan dengan napas dan cita-cita rakyat Indonesia.

Dalam forum yang sama pengamat politik Muhammad Qodari mengatakan, "panasnya hubungan antara MK dan DPR hingga menyebabkan turbulensi politik, bukan hanya sekedar menerima atau menolak putusan MK soal ambang batas pencalonan di Pilkada. Qodari mengatakan bahwa DPR jauh-jauh hari sudah banyak menolak putusan MK, karena MK itu yudikatif, tapi kerjanya legislatif. Qodari memandang aksi-aksi MK berbahaya dan dapat menimbulkan situasi anarkis. Karena memang konstitusi kita menyebutkan pembuat undang-undang itu pemerintah dan DPR, bukan MK," Bahkan Qodari mengusulkan agar keberadaan Mahkamah Konstitusi dibubarkan, karena telah kelewat batas membuat aturan hukum.

Penulis menilai bahwa Qodari bukanlah pengamat yang tepat untuk menilai putusan mahkamah konstitusi saat ini, sebab Qodari bukan pengamat murni melainkan dia adalah konsultan politik sekaligus jubir dari pihak KIM yang sangat berkepentingan dengan perubahan UU pilkada yang dikebut oleh baleg DPR belakangan ini. 

Qodari tidak akan pernah melihat putusan MK tersebut secara obyektif karena kepentingan big boss-nya tidak terakomodir. Lihat sikap Qodari pada saat terjadinya pemerkosaan hukum oleh MA saat meloloskan anak raja Jawa jadi cawapres 2024. Bahkan Qodari mendukung tindakan kriminal tersebut, padahal disisi lain para akademisi berteriak lantang agar penguasa tidak melakukan akal-akalan hukum demiki pemenuhan syahwat politik.

Bogor, 1 September 2024
Shobri, S.H.I., M.E.I
Lebih baru Lebih lama

ads

ads

نموذج الاتصال