Para Pemuda Harus Bangga! Ini Kisah H. Entong Gendut & Puluhan Petani Betawi! Bertempur Bak Singa Kelaparan Lawan Kumpeni!


TendaBesar.Com - Kisah - Zaman penjajahan adalah masa-masa kelam bagi bangsa Indonesia. Dijajah oleh beberapa Negara menjadi pengalaman buruk bagi bangsa ini, namun juga menjadi pembelajaran yang sangat berharga apabila bisa memetik mutiara ibroh darinya.

Cerita-cerita perjuangan nenek  moyang mestinya menjadi inspirasi bagi para pemuda untuk tidak mudah dikendalikan oleh penjajah masa kini yang model penjajahannya jauh berbeda.

Dari sejarah  diketahui bahwa nenek moyang bangsa Indonesia adalah orang-orang yang memiliki prinsip teguh, ideal dan pantang mudah menyerah. Seperti kisah berikut ini.

Berawal dari kekejaman pajak yang diberlakukan oleh para tuan tanah penjajah Belanda yang berhasil memperalat para pencundang dari pribumi, membuat para petani Betawi bangkit mengadu nyawa hingga tetes darah penghabisan.

Seperti diceritakan oleh Engkong Thalib (80) dengan nada bangga. Ia menceritakan sebuah kisah heroic sembari menunjuk  kea rah reruntuhan sebuah gedung tua di pertigaan Condet (Jakarta Timur). 

Dia mengisahkan betapa hebatnya  perlawanan lama nenek moyang pribumi ras betawi dari golongan para petani yang akhirnya bangkit melakukan perlawanan. Ya, lebih dari seratus tahun lalu kata Engkong Thalib memulai ceritanya . Di tempat yang dikenal sebagai Villa Nova itu, para petani Betawi menyabotase sebuah pesta yang dilakukan oleh orang-orang Eropa.

Peristiwa sabotase itu pada empat hari kemudian memantik adu nyawa para petani pimpinan Haji Entong Gendut dengan para serdadu marsose Belanda dan centeng-centengnya di Batu Ampar.

Engkong Thalib  adalah seorang laki-laki dengan 10 cucu itu terus memelihara kisah perlawanan heroic itu dari generasi ke generasi. 

Cerita tersebut disampaikan oleh para engkong kepada anak cucunya sebagai bukti sejarah, bahwa sebuah perlawanan terhadap penindasan kaum penjajah pernah terjadi di kampung mereka.

"Kite orang Betawi tidak bisa begitu aje diinjak-injak ame kumpeni," ujar penduduk asli Kampung Gedong itu kental dengan logat betawinya.

Engkong Thalib  bukan sekadar mendongeng. Cerita yang disampaikan Engkong Thalib juga pernah ditulis oleh sejarawan. Seperti ditulis Sartono Kartodirjo dalam Protest Movements in Rural Java menyatakan, pemberontakan Condet memang tercatat dalam dokumentasi pemerintah Hindia Belanda. 

Cerita pemberontakan para petani itu bermula dari sebuah peristiwa yang terjadi pada sekitar Februari 1916. Saat itu, Lady Lollinson (seorang tuan tanah berkebangsaan Inggris) menang perkara atas seorang petani tua bernama Pak Taba. Selanjutnya, Landrad (pengadilan)  Meester Cornelis (sekarang Jatinegara) memutuskan menyita seluruh hak milik Pak Taba.

Eksekusi keputusan pengadilan dilakukan secara cepat dan terbuka. Secara paksa, para petugas pengadilan menyita seluruh harta Pak Taba. Termasuk sebidang tanah di Kebon Jaimin sebelah utara.  Sejak saat itu, Pak Taba dan keluarganya jatuh miskin hingga membutuhkan uluran tangan warga lain.

Atas kejadian dan kezaliman itu, warga Condet banyak yang bersimpati sekaligus marah atas nasib yang menimpa Pak Taba. Tak terkecuali, tokoh kharismatik mereka yang bernama Haji Entong Gendut.

”Dia merasa gerah dan enggak reuseup (suka), karena cerita kumpeni menggusur tanah orang Betawi sudah terjadi ratusan kali,”tutur Engkong Thalib.

Demikian juga seorang sejarawan Indonesia asal Amerika Serikat, Willard Hanna,  menyebut ahwa penyitaan yang dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda memang sangat lazim terjadi pada tahun 1900-an. 

Willard mengatakan bahwa Itu terjadi karena rakyat kebanyakan tidak sanggup membayar blasting (pajak tanah) yang diterapkan pemerintah penjajah kumpeni.

"Jumlahnya memang fantastis, hingga wajar dari blasting ini bisa menutupi 30% kebutuhan negeri Belanda," tulis Hanna dalam Hikayat Jakarta.

Atas berbagai penindasan yang dilakukan oleh penjajah kumpeni kepada penduduk pribumi, Haji Entong Gendut tidak tahan melihat penderitaan rakyatnya, Ia kemudian bermusyawarah dengan tokoh-tokoh Condet lainnya. Seperti Haji Amat Wahab dan Haji Maliki. Dalam musyawarah tersebut dihasilkan sebuah keputusan yang menyatakan bahwa warga harus melakukan melawan.
Hasil keputusan itu diejawantahkan dalam sebuah aksi sabotase. Tepatnya pada 5 April 1916, sekitar jam 11 malam, ketiga haji itu memimpin 30 orang petani bergerak ke arah kediaman Lady Lollinson di Vila Nova. 

Dengan gagah berani, mereka menghentikan pesta Tari Topeng yang menyertakan juga kegiatan judi dan pelacuran. Alasan penghentian itu kata  Haji Entong adalah karena  menegakkan perintah agama. Jawaban yang sama Haji Entong sampaikan pada saat ditanya oleh pihak kepolisian tentang alasan penghentian kegiatan tari topeng tersebut.

Tak ayal, aksi Haji Entong beserta para petani Condet itu ditafsirkan oleh pemerintah Hindia Belanda sebagai sebuah bentuk pembangkangan. Maka empat hari kemudian, menjelang waktu ashar, ratusan orang yang terdiri dari serdadu marsose, centeng-centeng tuan tanah dan para upas mengepung rumah Haji Entong di Batu Ampar.

"Keluar kau, Entong!" teriak Wedana Pasar Rebo yang memimpin rombongan para pengepung itu

"Gue bakalan keluar setelah sembahyang barang sebentar!" sahut Haji Entong dari dalam rumah.

Detik demi detik berlalu, dan dengan situasi penuh ketegangan para pengepung menunggu Haji Entong keluar dari dalam rumahnya. 

Usai shalat ashar (sekitar jam 4 sore), Haji Entong pun keluar dari rumahnya. Bersamaan dengan keluarnya Haji entong, dari semak-semak juga bermunculan puluhan mujahid jagoan Condet.
 
Pertempuran sengit pun terjadi meskipun secara personil Nampak  tidak seimbang antara mujahid dengan para serdadu kumpeni yang jumlahnya ratusan, namun mereka berperang seperti singa yang sedang kelaparan sembari mengumandangkan takbir memuji sang khalik. 

Dentingan golok dan tombak terdengar nyaring bersanding dengan suara tembakan dari senapan para serdadu marsose yang pengecut.

Demikian halnya Haji Entong sendiri bertempur dengan gagah berani. Dengan sebilah golok, dan tombak berbendera merah dihiasi bulan sabit putih, dia mengamuk bak harimau kelaparan. Dari mulutnya, tak henti-henti terdengar lafaz takbir.
"Allahu Akbar! Sabilillah…Gue kagak takut ame kompeni!" teriak H. Entong

Pertempuran di Batu Ampar itu berakhir  usai menjelang azan magrib dikumandangkan. Tanah Batu Ampar yang berwarna merah semakin merah karena darah para serdadu yang tumbang disabet ganasnya golok dan tombak H. Entong dan para mujahid. 

Di bawah pohon duku dan rimbunan pohon salak, puluhan mayat bergelimpangan. Termasuk mayat beberapa pemuda mujahid Condet yang ikut bertempur mengusir kumpeni.

Nasib Haji Entong juga tidak jelas adanya. Ada yang mengatakan beliau meninggal tertembak mati namun tidak ada bukti yang menunjukkan hal itu. 

Sementara versi cerita rakyat, terdapat tiga versi kemana mayat H. Entong usai dikabarkan meninggal yaitu; Pertama, mayatnya dibawa hanyut arus Sungai Ciliwung saat beliau terdesak ke arah sungai lalu tertembak mati di situ.

Sementara Versi kedua, mayat Haji Entong diangkut Belanda lalu dimakamkan di sebuah tempat di Bogor. Adapun Versi yang tarakhir mengatakan bahwa mayat Haji Entong diceburkan atau dilarung  oleh Belanda ke Laut Jawa.

Versi mana yang benar, tidak ada seorang pun yang berani menjamin akan hal itu. Namun yang jelas, bahwa sejarah mencatat upaya perlawanan H. Entong  dan Para Mujahid kala itu menjadi sebuah pemberontakan besar terakhir kaum tani di Betawi terhadap Belanda.
 
Perlawanan itu juga merupakan inspirasi dan penyemangat yang melahirkan berbagai perlawan yang dilakukan oleh masyarakat Betawi terhadap penjajah kumpeni pada saat itu.  Perlawanan H. Entong dan para petani telah melahirkan sosok-sosok haji lainnya yang melakukan perlawanan dan pemberontak kepada penjajah kumpeni.

Namun mereka hanya sebatas "palang dade" saja. Seperti misalnya di Tanah Abang, ada sosok Haji Sabeni atau di Kemayoran, terkenal pula nama Haji Ung. Mereka dikenal sebagai palang dade atau pembela masyarakat setempat jika rakyat memiliki masalah dengan Belanda dan kroni-kroninya.

Dari sejarah ini dapat diambil kesimpulan bahwa nenek moyang bangsa Indonesia adalah orang-orang yang memiliki pendirian hebat. Memiliki jiwa pejuang bukan jiwa pecundang dan mestinya bangsa Indonesia mewarisi semangat itu terutama oleh para penguasa yang sedang mengelola negeri gemah ripah loh jenawe ini. Semoga..

(fer/tb)

Lebih baru Lebih lama

ads

ads

نموذج الاتصال