TendaBesar.Com - Jakarta - Seorang pakar Hukum Pidana, Fakultas Hukum, Universitas Katolik Parahyangan, Nefa Claudia Meliala mengendus adanya kejanggalan terhadap alasan pemotongan vonis hukuman Mantan Jaksa Pinangki Sirna Malasari oleh Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta.
PT Jakarta berdasarkan pengajuan banding terdakwa telah mengurangi hukuman Pinangki dari 10 tahun menjadi 4 tahun penjara. Pertimbangan pengurangan hukuman tersebut adalah, karena Pinangki sudah mengakui kesalahannya, menyesali, hingga mengiklaskan dirinya dipecat dari profesinya sebagai jaksa.
Menurut Nefa seharusnya hal tersebut tidak tepat dijadikan alasan karena hal itu bertentangan dengan Pasal 52 KUHP dimana para pejabat maupun petugas seharusnya dihukum lebih berat ketika melakukan tindak pidana korupsi.
"Sehingga kita lihat ketika seseorang melakukan satu tindak pidana atau kejahatan dalam jabatannya apalagi sebagai kapasitasnya sebagai penegak hukum. Berdasarkan ketentuan Pasal 52 KUHP seharusnya bisa diperberat ditambah 1/3," kata Nefa dalam diskusi virtual di Youtube Sahabat ICW, Ahad (27/6/2021).
Nefa menambahkan bahwa keputusan hakim yang mengurangi hukuman Pinangki tersebut menjadi catatan penting cara berpikir majelis dalam menyidangkan kasus korupsi pejabat penegak hukum yang terlibat korupsi.
"Jadi catatan pertama yang seakan-akan tidak diindahkan, tidak dilihat jadi satu hal sebagai satu dasar pemberat. Tentu ini jadi catatan pertama bagaimana cara berpikir majelis saat memeriksa dan menyidang ini tidak dijadikan bahan pertimbangan," tambah Refa.
Atas dasar itu, Nefa mempertanyakan apakah pemerintah masih memiliki komitmen untuk melakukan pemberantasan korupsi secara serius. Sebagaimana amanat UU Tipikor No 20 Tahun 2001 dimana tindakan korupsi telah dikategorikan sebagai kejahatan yang luar biasa.
"Pemberantasan tindak pidana korupsi harus dilakukan secara luar biasa. Sehingga ketika vonis ini muncul ada begitu perdebatan yang muncul di ruang- ruang publik karena seakan-seakan ini dipandang sebagai perkara biasa yang tidak ditangani serius. Apakah betul kita masih berkomitmen untuk melakukan pemberantasan dengan cara-cara yang luar biasa. Karena itu sudah diamanatkan dalam UU Tipikor," lanjut Refa dengan nada kecewa.
Sementara itu Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Erasmus Napitupulu pada kesempatan yang sama, mengatakan bahwa alasan majelis hakim PT Jakarta yang mengurangi vonis Pinangki, karena faktor seorang ibu dan memiliki anak balita, tidaklah tepat. Sebab, Pinangki bisa dianggap sebagai aktor utama dalam kasus suap pengurusan Fatwa MA Djoko Tjandra dan bukan pelaku pendukung.
"Jadi kalau saya ditanya soal kasus ini (pinangki) spesifik terhadap pertimbangan perempuannya bahwa saya akan bilang niatnya baik, dan saya kira diantara kita tidak ada yang akan bilang niatnya buruk," katanya. Nah dia menjadi aneh, karena dia ditempelkan dalam satu kasus (sarat pertanyaan)," kata Eramus.
Sebelumnya, dalam situs resmi PT DKI Jakarta yang dilihat dari laman Mahkamah Agung (MA) pada Senin, 14 Juni 2021, majelis hakim tingkat banding menyebut putusan 10 tahun yang dijatuhkan Pengadilan Tipikor terhadap Pinangki terlalu berat.
Adapun putusan ini diketuk oleh ketua majelis Muhammad Yusuf dengan anggota Haryono, Singgih Budi Prakoso, Lafat Akbar, dan Reny Halida Ilham Malik.
Dalam putusannya, majelis hakim banding menyebut Pinangki mengaku bersalah dan mengatakan menyesali perbuatannya serta telah mengiklaskan dipecat dari profesinya sebagai jaksa.
"Oleh karena itu dia masih dapat diharapkan akan berprilaku sebagai warga masyarakat yang baik," demikian seperti dikutip tendabesar.
Alasan kedua vonis Pinangki disunat yakni karena Pinangki adalah seorang ibu dari anaknya yang masih balita (berusia 4 tahun) sehingga layak diberi kesempatan untuk mengasuh dan memberi kasih sayang kepada anaknya dalam masa pertumbuhannya.
Ketiga, Pinangki sebagai wanita harus mendapat perhatian, perlindungan, dan diperlakukan secara adil.
Keempat, perbuatan Pinangki tidak terlepas dari keterlibatan pihak lain yang turut bertanggung jawab, sehingga kadar kesalahannya memengaruhi putusan ini.
Kelima, tuntutan pidana jaksa penuntut umum selaku pemegang azas Dominus Litus yang mewakili negara dan pemerintah dianggap telah mencerminkan rasa keadilan masyarakat. (ah/tendabesar)