TendaBesar.Id - Jakarta - Sistem multipartai dalam praktik demokrasi di Indonesia saat ini dianggap perlu dievaluasi kembali karena perkembangannya dinilai kurang selaras dengan aspirasi rakyat. Menurut Siti Zuhro, Peneliti Ahli Utama di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), sistem multipartai ini harus ditinjau ulang dan disederhanakan karena berpotensi menjadi ancaman serius bagi pelaksanaan demokrasi di Indonesia.
Siti menyoroti fenomena calon tunggal yang marak dalam Pilkada serentak 2024, yang dianggap sebagai anomali di tengah sistem multipartai.
Padahal, dalam sistem multipartai, partai politik dan masyarakat seharusnya memiliki kebebasan yang luas untuk mengajukan atau bersaing mengusulkan kandidat kepala dan wakil kepala daerah dalam Pilkada sebagai perwakilan aspirasi mereka.
"Kita harus mendorong perbaikan paket Undang-Undang (UU) Politik karena mungkin usianya sudah sangat tua, sementara sekarang banyak perubahan yang sifatnya sangat mendasar, Perlu diadopsi atau direspons partai politik dan dipayungi undang-undang," kata Siti dalam keterangannya di Jakarta, pada Kamis (12/9/2024).
Siti mendorong pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk merevisi paket Undang-Undang (UU) politik, seperti UU Partai Politik, UU MD3 (MPR, DPR, DPD, dan DPRD), UU Pemilu, dan UU Pilkada agar lebih sesuai dengan perkembangan zaman.
Menurut Siti, paket Undang-Undang Politik yang ada saat ini perlu direformasi secara menyeluruh untuk mewujudkan demokrasi Indonesia yang lebih substantif, bukan sekadar prosedural.
Siti menilai bahwa fenomena calon tunggal yang marak dalam Pilkada mencerminkan kecenderungan aklamasi, yang tidak memberikan pendidikan politik yang baik bagi masyarakat.
Selain itu, Siti berpendapat bahwa maraknya calon tunggal dalam Pilkada 2024 adalah akibat dari partai politik yang kehilangan kedaulatan dan otonomi. Hal ini membuat partai politik seolah kehilangan kepercayaan diri untuk mengusung kader sendiri dan lebih memilih bergabung dalam koalisi besar karena kepentingan pragmatis yang sama.
"Tidak percaya diri dalam mempromosikan kadernya. Mereka juga tidak merasa bersalah, malahan fine, fine (baik-baik) saja," ujar Siti.
Pada Pilkada 2024, terdapat 41 daerah yang hanya memiliki satu pasangan calon kepala dan wakil kepala daerah atau dikenal sebagai calon tunggal. Daerah yang memiliki calon tunggal terdiri dari 1 provinsi, 35 kabupaten, dan 5 kota.
Seluruh calon tunggal di berbagai daerah tersebut akan berhadapan dengan kotak kosong saat pemungutan suara Pilkada serentak pada 27 November 2024.
Meski demikian, Komisi Pemilihan Umum (KPU) tetap akan melakukan pengundian nomor urut bagi daerah yang hanya memiliki calon tunggal.
Secara historis, sistem kepartaian di Indonesia telah mengalami dua kali perubahan. Pada pemilu pertama yang digelar tahun 1955, Indonesia menerapkan sistem multipartai dengan 36 partai politik, 34 organisasi massa, dan 48 calon perseorangan yang ikut serta.
Setelah peralihan kekuasaan dari Orde Lama yang dipimpin Soekarno ke Orde Baru yang dipimpin Soeharto, pemerintah menerapkan kebijakan fusi partai politik pada 1973.
Partai politik yang pada masa Orde Lama berjumlah puluhan disederhanakan menjadi tiga poros utama: Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Golongan Karya (Golkar), dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Sistem fusi ini bertahan hingga Pemilu 1997.
Setelah Reformasi 1998, masyarakat menuntut agar ruang politik kembali dibuka. Akibatnya, sistem multipartai dihidupkan kembali pada Pemilu 1999 dengan 37 partai peserta, dan sistem ini masih dipertahankan hingga saat ini.
(ah/tb)