Kabinet Gemuk Prabowo-Gibran Bikin Rakyat Makin Melarat! Ada 44 Mentri? Pengamat Bersuara Keras!


TendaBesar.Id - Jakarta - Kabinet Gemuk Prabowo-Gibran Bikin Rakyat Makin Melarat! Ada 44 Mentri? Pengamat Bersuara Keras! Center of Economic and Law Studies (CELIOS) menilai bahwa rencana pembentukan kabinet gemuk oleh presiden terpilih Prabowo Subianto pada periode mendatang akan membebani anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) serta memperumit birokrasi.

Direktur Eksekutif CELIOS, Bhima Yudhistira, menanggapi kabar yang beredar bahwa kabinet Prabowo akan diisi oleh 44 menteri.

“Menambah kementerian itu kan, artinya menambah belanja pegawai dan belanja barang,” kata Bhima kepada Tempo lewat sambungan telepon pada Kamis, 12 September 2024. Ia menyinggung belanja pegawai dalam Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau RAPBN 2025 yang tercatat meningkat. “Beban fiskal untuk belanja lembaga sudah sangat berat.”

Berdasarkan Buku II Nota Keuangan beserta RAPBN 2025, pemerintah mengalokasikan total anggaran sebesar Rp 513,22 triliun untuk belanja pegawai kementerian/lembaga. Jumlah ini meningkat 11,36 persen dibandingkan total belanja pegawai pada 2024 yang senilai Rp 460,86 triliun. Sementara itu, anggaran untuk belanja barang direncanakan sebesar Rp 342,6 triliun, turun 27,50 persen dari proyeksi tahun ini yang mencapai Rp 436,8 triliun.

Bhima Yudhistira kemudian mempertanyakan tujuan Prabowo dalam menambah kementerian dan badan baru di masa kepemimpinannya nanti. Menurut Bhima, program-program yang ingin dijalankan bisa dilakukan melalui kementerian dan lembaga yang sudah ada. Misalnya, program makanan bergizi gratis bisa dikelola oleh Kementerian Pertanian atau Kementerian PPN/Bappenas.

Bhima menambahkan bahwa kabinet gemuk juga akan mempersulit koordinasi dan proses birokrasi. Selain itu, ia mengingatkan masyarakat agar waspada terhadap rencana Prabowo yang ingin memecah Kementerian Keuangan dan membentuk Badan Penerimaan Negara (BPN) untuk mengelola penerimaan negara dari pajak, bea cukai, dan sumber nonpajak.

“Itu juga bukan mempersingkat birokrasi, justru makin memperumit karena pendapatan dan belanja ini kan jadi satu hal yang sangat tidak terpisahkan,” ujarnya.

Bhima berpendapat bahwa ketika kondisi ekonomi negara sedang kurang baik, seharusnya APBN digunakan untuk menstimulasi perekonomian melalui insentif atau subsidi, bukan justru untuk membiayai pembentukan badan baru.

Ia menyoroti bahwa negara saat ini tengah menghadapi berbagai masalah ekonomi, seperti rendahnya rasio pajak dan pemutusan hubungan kerja (PHK) massal. Meskipun demikian, Prabowo tetap optimis bahwa ia bisa meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia hingga mencapai 8 persen. 

“Ini (penambahan kementerian atau badan) justru akan menghambat pencapaian pertumbuhan ekonomi Prabowo yang ambisius sampai lima tahun ke depan,” kata Bhima.

Pertumbuhan ekonomi Indonesia saat ini stagnan di sekitar angka 5 persen, berdasarkan data dari Bank Dunia, Dana Moneter Internasional (IMF), dan Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD).

Rasio pajak negara selama periode 1972-2023 cenderung menurun dan tetap rendah, dengan rasio terakhir tercatat sebesar 10 persen pada 2023, menurut data Kementerian Keuangan. Penerimaan pajak hanya mencapai 10 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB), dengan target hanya berhasil tercapai pada tahun 2021, 2022, dan 2023.

Rasio utang terhadap PDB berada di sekitar 38 persen tahun ini, berdasarkan data Kementerian Keuangan, yang menunjukkan kenaikan tiga kali lipat selama masa pemerintahan Presiden Jokowi.

Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Esther Sri Astuti, juga menilai bahwa investasi saat ini kurang ramah terhadap penciptaan lapangan kerja. Hal ini disampaikannya dalam diskusi publik bertajuk “Moneter dan Fiskal Ketat, Daya Beli Melarat” pada 12 September 2024.

Lebih baru Lebih lama

ads

ads

نموذج الاتصال