Berakal dan Sehat Akal! Awas Jangan Sampai Berakal Tapi tidak Sehat Akal!

Oleh: Mahfud Hidayat, M.E
Praktisi Pendidikan dan Pengamat Sosial

TendaBesar.Com - Opini - Pada sebuah tayangan di salah satu TV swasta, saya kaget dan terkejut. Kok bisa ya, seorang istri menyewa tiga orang pembunuh bayaran untuk menghabisi nyawa suaminya sendiri.  

Ada pula seorang suami yang tega membunuh istrinya yang sedang menggendong anaknya. Na'uuzubillah Tsummana'uuzubillah.

Masih banyak lagi tayangan dengan kasus serupa atau lebih keji dari itu. Hal ini mengundang saya untuk menuliskan sebuah renungan buat kita semua, sebagaimana berikut ini.

Dalam literatur fikih sering kita jumpai terma al 'aaqil sebagai salah satu syarat wajib melaksanakan suatu ibadah. Jika diterjemahkan, apakah "aaqil" ini orang yang berakal atau orang yang sehat akal? 

Faktanya tidak semua yang berakal itu sehat akalnya. Jika berakal lawannya tidak berakal, maka orang yang berakal berarti ia bukan orang gila. Artinya bahwa orang yang hilang akal (ghair 'aaqil) tidak terkena beban syariat. Sehingga setiap orang yang berakal (bukan orang gila) berarti wajib melaksanakan syariat. 

Lain halnya dengan tema sehat akal. Orang yang berakal sehat akan mampu memilih mana yang hak dan mana yang batil, mana yang bermanfaat dan mana yang tidak bermanfaat. 

Dalam fikih, sifat demikian terdapat pada seorang mumayyiz. Dengan kata lain, tidak semua 'aaqil itu mumayyiz. Tapi semua mumayyiz adalah 'aaqil.

Pertanyaan berikutnya, apakah cukup bermodal "tamyiz" (orangnya disebut mumayyiz), seseorang dapat memilih yang benar dan meninggalkan yang salah? Padahal sebagaimana dalam hadis Nabi SAW bahwa diantara baiknya Islam seseorang adalah meninggalkan hal yang tidak ada manfaatnya?. 

Seorang mumayyiz harus sehat akalnya untuk menjadi manusia yang berguna, bermanfaat, dan bermaslahat. Dengan bekal akal yang sehat dan hati yang kuat, ia akan memilih untuk baik dan menebar kebaikan kepada umat. 

Bersyukurlah jika Allah memberi pertolongan dan kemudahan kepada kita untuk menjalankan syariat dan menjadi orang yang bermaslahat. Karena itu artinya kita adalah orang yang memiliki akal yang sehat. Insya Allah hati dan ruh kita sehat. 

Namun ketika kita merasa berat untuk ibadah dan menjadi orang yang baik, sebaliknya malah cenderung berbuat jahat dan mengikuti ajakan hawa nafsu, maka segeralah beristigfar, bertaubat, dan kembali kepada rel yang benar. Sebab dalam kondisi itu kita memang berakal namun kita tidak sehat akal. 

Wallahu a'lam.
Semoga bermanfaat
Lebih baru Lebih lama

ads

ads

نموذج الاتصال