Oleh: Rachman Suratno
Pemerhati Lingkungan
Namun, angka statistik tak mampu sepenuhnya merangkum betapa hancurnya moralitas yang menyelimuti Pemerintahan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Bogor. Sebuah kejadian yang memilukan dan membuyarkan hati kekerasan berulang kali merebak ke permukaan tanah subur ini, memperlihatkan ketidaksensitifan dan kepedulian DPRD terhadap nasib rakyat jelata.
Saat cahaya sorotan kamera menyinari wajah pucat penuh penderitaan seorang anak kecil bernama Gibran, dari desa Bojonggede, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, dunia pun terhenti sejenak untuk menyaksikan betapa kelaparan telah merajalela di tanah yang seharusnya memberi kehidupan. Dalam sebuah video yang viral pada Rabu, 8 Mei 2024, dunia menyaksikan bagaimana seorang ibu dengan dinginnya membiarkan anaknya menangis lapar sambil terus-menerus meminta makan.
Gibran, dengan raut wajah yang memelas, mengenakan kaos oblong kuning yang terlalu besar baginya, memohon pada ibunya yang tak mampu memberinya sepotong roti pun. Namun, yang ia dapatkan hanyalah bentakan dan penolakan yang dingin. Video itu mengungkapkan tragedi yang tak terperi, betapa seorang ibu dalam keputusasaan finansialnya melupakan naluri keibuan yang seharusnya menyelimuti anaknya dengan kasih sayang dan perhatian.
Namun, bukan hanya tragedi tersebut yang menambah luka dalam hati. Ironi kehidupan kembali terbuka lebar saat seorang warga negara baik hati memutuskan untuk menggugah kesadaran akan penderitaan Gibran dengan memberinya makanan. Namun, apa yang seharusnya menjadi tindakan pujian dan kebaikan, malah berujung pada ancaman penjara dari kepala desa setempat.
Di sisi lain, sementara rakyatnya kelaparan dan terlantar, mata uang yang mengalir begitu deras dalam anggaran "Makan dan Minum" sekertariat DPRD Kabupaten Bogor mengejutkan dengan angka fantastis yang mencapai lebih dari 12 miliar pada tanggal 9 Mei 2024. Sebuah ironi yang tak terbantahkan, di mana sumber daya yang seharusnya digunakan untuk mengangkat kesejahteraan rakyat, malah terperangkap dalam pusaran nafsu dan ketidakpedulian.
Ketika kita melihat perbandingan antara kemiskinan yang melanda Bogor dengan kemewahan yang dinikmati oleh para elit politiknya, hati ini tak mampu berkata apa-apa selain menangis dalam keputusasaan. Kita dituntut untuk bertanya, di mana letak kemanusiaan dalam dunia di mana kepentingan pribadi telah merenggut martabat manusia?
Penderitaan Gibran dan ribuan rakyat Bogor lainnya adalah cerminan nyata dari kegagalan sistem yang seharusnya melindungi mereka. Dan dalam setiap tangisan dan rintihan kelaparan mereka, kita mendengar suara-suara kehampaan yang terabaikan oleh mereka yang seharusnya berdiri di garis depan perlindungan dan pembelaan.
Maka, sementara anggaran DPRD terus mengalir dalam derasnya, mari kita jadikan kepedulian dan keadilan sebagai tonggak utama dalam mengukir masa depan Kabupaten Bogor yang lebih berarti. Kita tidak boleh membiarkan tragedi Gibran menjadi sekadar angin lalu dalam lembaran sejarah, tetapi kita harus mengubahnya menjadi panggilan tindakan yang mengubah nasib bangsa ini menjadi lebih baik.