TendaBesar.Com - Jakarta - Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraeni yang hadir dalam Gelora Talk bertajuk "Gaduh Siasat Tunda Pemilu 2024", Rabu (30/3/2022) mengatakan, ada upaya dari elit-elit tertentu untuk terus membangun narasi populis kepemimpinan seperti terlihat dari deklarasi Presiden Joko Widodo 3 periode oleh Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (APDESI) beberapa waktu lalu.
"Ada beberapa cara bagi untuk menghindar dari pembatasan yaitu pertama amandemen konstitusi dan kedua membuat konstitusi baru. Ketiga itu placeholder president, jadi presiden boneka untuk kemudian menjalankan sebenarnya kekuasaan yang dikendalikan oleh orang yang berada di belakang dia. Yang keempat itu delay election, menunda pemilu," ujar Titi Anggraeni
Menurut Titi Anggraeni, narasi yang paling sering digunakan untuk menghindar dari pembatasan masa jabatan adalah populisme kepemimpinan untuk melanggengkan kekuasaan.
"Bahwa ada presiden yang sangat baik, yang bekerja untuk pembangunan dan kemudian kalau ini berhenti akibat adanya pembatasan masa jabatan, maka kerja-kerja baik itu berhenti," ungkapnya.
Dari narasi itulah beberapa cara memperpanjang masa jabatan di atas dilakukan. Namun dia mengingatkan bahwa populisme kepemimpinan ini justru akan menghadirkan sebuah krisis bagi negara. Titi mencontohkan kudeta militer yang terjadi di Guinea.
"Ini kita tidak menghendaki itu karena, sekali lagi, data-data menyebutkan bahwa negara-negara yang kemudian menghindari pembatasan masa jabatan dan berbagai strategi kemudian akan masuk kepada krisis demokrasi yang berujung kepada krisis ketatanegaraan dan bahkan berdampak pada krisis ekonomi karena dianggap sebagai situasi yang mengakibatkan instabilitas," terang Titi.
Titi Anggraeni menambahkan, ide penundaan Pemilu 2024 merupakan gula-gula yang menarik dukungan para wakil rakyat.
"Saya kira ini menjadi sesuatu yang kita tidak boleh kita sepelekan dan harus kita serius untuk menolak karena dia menawarkan gula-gula," ujarnya.
Sedangkan Pakar Hukum Tata Negara Universitas Gajah Mada (UGM) Zainal Arifin Mochtar meminta komitmen dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) baru Periode 2022-2027 yang akan dilantik pada Senin, 11 April mendatang untuk menegaskan, komitmennya dan menegakkan demokrasi dengan menolak ide penundaan Pemilu 2024.
"Ditagihkan kepada KPU juga supaya dia punya komitmen untuk tetap mengawal yang namanya pemilu mengawal proses peralihan kepemimpinan. Kalau kita baca beberapa buku literatur mengatakan Pemilu itu adalah kudeta yang paling konstitusional," ujar Zainal Arifin.
Zainal menjelaskan melalui pemilu rakyat bisa menggulirkan rezim yang dianggap tidak sungguh-sungguh menjalankan amanat konstituennya.
"Kenapa pemilu itu harus ada ya karena itu adalah hak kita yang harus kita tagihkan kepada negara untuk bisa gunakan menjewer pemimpin yang tidak serius, partai-partai yang tidak serius, kepemimpinan negara yang tidak pro pada rakyat," bebernya.
Zainal Arifin juga menagih sikap partai dengan tidak hanya menyatakan menolak penundaan pemilu saja seperti PDIP, namun juga dengan langkah yang lebih nyata seperti interpelasi atau hak angket.
"Bukan hanya sekedar pendapat politik tapi kemudian menjadi pengawasan politik. Harusnya partai PDIP bisa mengagregasi misalnya langkah-langkah menuju ke arah interpelasi misalnya atau menuju ke arah hak menyatakan pendapat terhadap kerja-kerja presiden," tandasnya.
(rls-dpn-glr/tb)