Mengakhiri Sebutan Kopar Kapir! Demi Keutuhan Bangsa!


Oleh: SM
Pendukung Plurarisme Agama

TendaBesar.Com - Opini - Sebagai warga negara yang  mendukung keberagaman, nasionalis,  moderat, dan pluralis - saya risih dan "jengah" dengan sebutan "kafir" dalam dialog dan wacana publik.  

Sebutan itu cenderung disalahgunakan untuk mendiskriminasikan, melecehkan dan menindas saudara sebangsa yang tak seagama,  khususnya kaum minoritas di negeri ini. 

Memang benar - tak hanya Muslim saja yang tak mengenal sebutan kafir.  Kalangan  Kristen dan Yahudi juga melecehkan dan menyebut kaum yang tak seiman sebagai "kafir" juga. 

Akan tetapi,  dengan posisi minoritas mereka dan kesadaran tinggi dalam berbangsa dan bernegara,  istilah itu tak mereka gunakan lagi.  

Tidak demikian dengan kaum Islam puritan kita. Terutama dengan banjirnya pendakwah asing, atau orang kita, WNI lulusan Arab, Yaman, Mesir,  dan Tunisia. Kata kata "kafir" diumbar sebegitu rupa sehingga merusak keharmonisan sesama anak bangsa. 

Dengan mengutip surat "Al Kafirun",  sebutan "kafir" dijadikan senjata dan pembenaran untuk menindas golongan yang tidak seiman, bahkan kepada mereka yang tidak sepaham dengan kaumnya. Meski satu agama.  

Bapak bapak pejuang bangsa yang mendirikan Republik Indonesia, sejak awalnya,  tak mengenal diskriminasi khususnya atas nama keyakinan dan agama di negeri tercinta kita ini. Dari Jong Sumatera hingga Jong Papua bersatu membangun republik.  Karena itu, segala sebutan yang bernuansa diskriminasi harus diakhiri. 

Mengumbar kata "kafir" sangat kontra produktif dan merusak "tenun kebangsaan"  - mengutip ucapan seorang menteri Jokowi yang jadi Gubernur DKI Jaya  itu.  

"Kafir" adalah istilah asing yang seharusnya tak diserap dan dibudayakan di sini.  

Syukurlah,  terobosan itu ditunjukkan oleh PBNU,  ormas terbesar di Tanah Air.  

KETUA UMUM Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Gus Yahya Cholil Staquf dengan tegas  menyebut kategori "kafir" atau "non muslim" merupakan istilah yang tidak relevan dalam negara bangsa modern.

"Kami pada waktu itu dengan membuat kesimpulan bahwa kategori 'non muslim' atau 'kafir' sesungguhnya tidak relevan dalam konteks negara bangsa modern," kata Gus Yahya dalam webinar Majelis Ulama Indonesia (MUI), Rabu (30/3).

Hal ini berkaitan dengan upaya mengurangi permusuhan antar umat beragama, penyebutan 'kafir' dan 'non muslim' hendaknya diakhiri. "Karena umat ini masih punya 'mindset' yang cenderung memelihara kemusuhan dan kebencian satu sama lain," katanya.

Sebagai agama mayoritas di Tanah Air, Umat Islam harus menjaga perasaan dan menghargai kepada pemeluk Agama Non Islam.

Umat Islam harus lebih bertoleransi kepada Non Muslim, penggunaan istilah "Kafir" sudah tidak sesuai dengan kehidupan Negara modern saat ini - tegasnya. 

Selain itu, kata Gus Yahya, tata dunia yang stabil dan aman tidak mungkin terjadi tanpa adanya toleransi di antara kelompok yang berbeda.

"Kuncinya hidup berdampingan secara damai di antara kelompok-kelompok yang berbeda," tuturnya.

BARANG tentu wacana Gus Yahya dan PBNU mendpat beragam reaksi.  Selain mendukung juga menolak.  Meniadakan ayat Al Qur'an,  bikin gaduh adalah tuduhan negatif yang langsung disematkan.  

Harap dipahami bahwa mengkafirkan orang lain membuat kaum puritan fanatik agama,  terhibur,  senang dan unggul.  Merasa diri sama bahkan lebih. 

Meneriakkan kata "kafir" adalah pelepasan emosi di dunia imaji mereka -  saat dalam kehidupan nyata mereka kalah,  tersingkir, dan  termarjinalkan.  

Mereka tak terdidik, tak suka membaca,  minim ketrampilan,  sebagiannya nganggur,  lalu dijejali paham fanatik, eksklusif. Kaum pekerjanya juga termajinalisasi dalam persaingan.  

"Saya miskin,  tapi bertakwa dan kelak masuk surga.  Kalian kaya tapi kafir masuk neraka! "  itu yang tertanam di benak mereka.  

Karena itu wacana menghilngkan  penggunaan kata "kafir" membuat mereka merasa ditolak dan disingkirkan.  

Menurut Gus Yahya, upaya-upaya tersebut menjadi PR besar bagi semua agama bukan hanya umat Islam saja.

Kesadaran untuk membangun tata dunia yang damai maka diperlukan kebutuhan untuk mengembangkan wawasan keagamaan yang moderat.

"Dalam arti yang tidak mengedepankan permusuhan dan konflik melawan agama lain," ujarnya.

Di Indonesia,  ormas terdekat dan banyak pengikutnya selain NU adalah Muhamadiyah.  Dengan 60 juta massa pendukungnya,  Muhamadiyah bisa ikut berperan dalam memoderasi ajaran Islam. 

PP Muhamadiyah jangan hanya sibuk amal dan usaha, fokus di ekonomi dan lembaga pendidikan resmi selain rumhbsakit - demi menumpuk asset dan tak membuat terobosan dalam penerapan moderasi Islam.

Ironinya itulah yang terjadi.  Bahkan di MUI -  Muhamadiyah menempatkan orang yang anti pemerintah, anti presiden. Bahkan anti republik.   *

Note: Tulisan ini diangkat sebagai perbandingan meskipun kesannya tulisan ini agak tendensius karena mengangkat satu organisasi dan menjatuhkan organisasi lainnya..

Lebih baru Lebih lama

ads

ads

نموذج الاتصال