Oleh: KH. Syukron Ma'mun
Pimpinan Pondok Pesantren Azzikro Bogor
Untuk mendapat kan pemahaman yang utuh tentang sholat tersebut perlu kiranya kita melihat sholawat tersebut secara utuh, baik dari sisi historisnya, susunan bahasa berdasarkan kaidah kebahasaan, maupun sisi makna nya.
Berikut adalah redaksi dari sholawat nariyah tersebut;
اَللّهُمَّ صَلِّ صَلاَةً كَامِلَةً وَسَلِّمْ سَلاَمًا تَامًّا عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ الَّذِيْ تَنْحَلُّ بِهِ الْعُقَدُ وَتَنْفَرِجُ بِهِ الْكُرَبُ وَتُقْضَى بِهِ الْحَوَائِجُ وَتُنَالُ بِهِ الرَّغَائِبُ وَحُسْنُ الْخَوَاتِمِ وَيُسْتَسْقَى الْغَمَامُ بِوَجْهِهِ الْكَرِيْمِ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ فِى كُلِّ لَمْحَةٍ وَنَفَسٍ بِعَدَدِ كُلِّ مَعْلُوْمٍ لَكَ
Artinya: "Ya Allah, limpahkanlah shalawat yang sempurna dan curahkanlah salam kesejahteraan yang penuh kepada junjungan kami Nabi Muhammad, yang dengan sebab beliau semua kesulitan dapat terpecahkan, semua kesusahan dapat dilenyapkan, semua keperluan dapat terpenuhi, dan semua yang didambakan serta husnul khatimah dapat diraih, dan berkat dirinya yang mulia hujanpun turun, dan semoga terlimpahkan kepada keluarganya serta para sahabatnya, di setiap detik dan hembusan nafas sebanyak bilangan semua yang diketahui oleh Engkau,".
Sepintas jika memandang arti leterleknya memang seolah nampak terang dan jelas bahwa posisi Nabi besar Muhammad SAW seperti menggantikan peran Allah Rabb semesta alam dalam urusan memenuhi hajat hidup umat manusia.
Anggapan bahwa sholawat Nariyah mengandung kesyirikan umumnya tertuju pada empat kalimat berurutan di bawah ini:
تَنْحَلُّ بِهِ الْعُقَدُ وَتَنْفَرِجُ بِهِ الْكُرَبُ وَتُقْضَى بِهِ الْحَوَائِجُ وَتُنَالُ بِهِ الرَّغَائِبُ
Kalimat-kalimat itu pun dirinci lalu diterjemahkan begini:
تَنْحَلُّ بِهِ الْعُقَدُ
Artinya: Dengan sebab beliau semua kesulitan dapat terpecahkan, atau "Segala ikatan dan kesulitan bisa lepas karena Nabi Muhammad."
وَتَنْفَرِجُ بِهِ الْكُرَبُ
Artinya: Semua kesusahan dapat dilenyapkan atau "Segala bencana bisa tersingkap dengan adanya Nabi Muhammad."
وَتُقْضَى بِهِ الْحَوَائِجُ
Artinya: Semua keperluan dapat terpenuhi atau "Segala kebutuhan bisa terkabulkan karena Nabi Muhammad."
وَتُنَالُ بِهِ الرَّغَائِبُ
Artinya: Semua yang didambakan dapat diraih atau "Segala keinginan bisa didapatkan dengan adanya Nabi Muhammad."
Menurut mereka, empat kalimat tersebut sarat kesyirikan karena secara terjemahan mengandung pengakuan bahwa Nabi Muhammad memiliki kemampuan yang dimiliki oleh Allah SWT, seperti bisa menghilangkan kesulitan, menghilangkan bencana, memenuhi kebutuhan, dan mengabulkan keinginan yang mana semua itu hanyalah milik Allah SWT.
Tinjauan dalam ilmu nahwu dan shorof Dasar;
Shalawat Nariyah atau disebut juga shalawat Tâziyah atau shalawat Tafrîjiyah berasal bukan dari Indonesia. Ia dikarang oleh ulama besar asal Maroko, Syekh Ahmad At-Tazi al-Maghribi (Maroko), dan diamalkan melalui sanad muttashil oleh ulama-ulama di berbagai belahan dunia. Tak terkecuali Mufti Mesir Syekh Ali Jumah yang memperoleh sanad sempurna dari gurunya Syaikh Abdullah al-Ghummar, seorang ahli hadits dari Maroko.
Jika shalawat Nariyah dianggap syirik, ada beberapa kemungkinan. Pertama, para ulama pengamal shalawat itu tak mengerti tentang prinsip-prinsip tauhid. Ini tentu mustahil karena mereka besar justru karena keteguhan dan keluasan ilmu mereka terhadap dasar-dasar ajaran Islam.
Kedua, pengarang shalawat Nariyah, termasuk para pengikutnya, ceroboh dalam mencermati redaksi tersebut sehingga terjerumus kepada kesyirikan. Kemungkinan ini juga sangat kecil karena persoalan bahasa adalah perkara teknis yang tentu sudah dikuasai oleh mereka yang sudah menyandang reputasi ke ilmuan berkelas dunia dan karya yang tak biasa.
Ketiga, para penuduhlah yang justru ceroboh dalam menghakimi, tanpa mencermati secara seksama dalil shalawat secara umum, termasuk juga aspek redaksional dari shalawat Nariyah. Bahkan tidak sekedar ceroboh atau malah mungkin jahil dalam ilmu bahasa dan ilmu alat yang digunakan untuk memahami sebuah redaksi Al Qur'an, Hadits, maupun susunan kalimat dalam bahasa Arab yang tinggi sehingga mereka tidak mampu memahaminya dengan sempurna kecuali dengan terjemahan apa adanya karena kejahilan mereka dalam berbagai disiplin ilmu alat yang dibutuhkan.
Dilihat dari segi ilmu nahwu, empat kalimat di atas merupakan shilah dari kata sambung (isim maushul) الذي yang berposisi sebagai na‘at atau menyifati kata محمّد.
Untuk menjernihkan persoalan, mari kita bedah satu per satu kalimat tersebut.
تَنْحَلُّ بِهِ الْعُقَدُ وَتَنْفَرِجُ بِهِ الْكُرَبُ وَتُقْضَى بِهِ الْحَوَائِجُ وَتُنَالُ بِهِ الرَّغَائِبُ
Pertama, تَنْحَلُّ بِهِ الْعُقَدُ .
Dalam kacamata ilmu sharaf, kata تَنْحَلُّ merupakan fi’il mudlari‘ dari kata انْحَلَّ. Bentuk ini mengikuti wazan انْفَعَلَ yang memiliki fungsi/faedah لمُطَاوَعَةِ فَعَلَ (dampak dari فَعَلَ). Demikian penjelasan yang kita dapatkan bila kita membuka kitab sharaf dasar, al-Amtsilah at-Tashrîfiyyah, karya Syekh Muhammad Ma’shum bin ‘Ali.
Contoh:
كَسَرْتُ الزُّجَاجَ فَانْكَسَرَ
“Saya memecahkan kaca maka pecahlah kaca itu.” Dengan bahasa lain, kaca itu pecah (انْكَسَر) karena dampak dari tindakan subjek “saya” yang memecahkan.
Contoh lain:
حَلّ اللهُ العُقَدَ فَانْحَلَّ
“Allah telah melepas beberapa ikatan (kesulitan) maka lepaslah ikatan itu.” Dengan bahasa lain, ikatan-ikatan itu lepas karena Allahlah yang melepaskannya.
Di sini kita mencermati bahwa wazan انْفَعَلَ menjelaskan adanya “pelaku tersembunyi” karena ia sekadar ekspresi dampak atau akibat dari pekerjaan sebelumnya.
Kalau تَنْحَلُّ بِهِ الْعُقَدُ dimaknai bahwa secara mutlak Nabi Muhammad melepas ikatan-ikatan itu tentu adalah kesimpulan yang keliru, karena tambahan bihi di sini menunjukkan pengertian perantara (wasilah). Pelaku tersembunyi itu tetaplah Allah SWT—sebagaimana faedah لمُطَاوَعَةِ فَعَلَ.
Hal ini mengingatkan kita pada kalimat doa:
رَبِّ اشْرَحْ لِي صَدْرِي وَيَسِّرْ لِي أَمْرِي وَاحْلُلْ عُقْدَةً مِنْ لِسَانِي يَفْقَهُوا قَوْلِي
“Ya Rabbku, lapangkanlah untukku dadaku, mudahkanlah untukku urusanku, dan lepaskanlah ikatan/kekakuan dari lidahku, supaya mereka mengerti perkataanku.”
Kedua, تَنْفَرِجُ بِهِ الْكُرَبُ
Senada dengan penjelasan di atas, تَنْفَرِجُ merupakan fi’il mudlari‘ dari kata انْفَرَجَ, yang juga mengikuti wazan انْفَعَلَ. Faedahnya pun sama لمُطَاوَعَةِ فَعَلَ (dampak dari فَعَلَ).
Ketika dikatakan تَنْفَرِجُ بِهِ الْكُرَبُ maka sesungguhnya maksud kalimat tersebut adalah فَرَجَ اللهُ الكُرَبَ فَانْفَرَجَ. Dengan demikian, Allah-lah yang membuka atau menyingkap bencana/kesusahan, bukan Nabi Muhammad.
Ketiga, تُقْضَى بِهِ الْحَوَائِجُ
Kata تُقْضَى adalah fi’il mudlari‘ dalam bentuk pasif (mabni majhûl). Dalam ilmu nahwu, fi’il mabni majhul tak menyebutkan fa’il karena dianggap sudah diketahui atau sengaja disembunyikan. Kata الْحَوَائِجُ menjadi naibul fa’il (pengganti fa’il). Ini mirip ketika kita mengatakan “ular dipukul” maka kita bisa mengandaikan adanya pelaku pemukulan yang sedang disamarkan.
Dengan demikian kalimat lengkap dari susunan tersebut adalah.
يَقْضِي اللهُ الْحَوَائِجَ
“Allah akan mengabulkan kebutuhan-kebutuhan.”
Keempat, تُنَالُ بِهِ الرَّغَائِبُ
Penjelasan ini juga nyaris sama dengan kasus تُقْضَى بِهِ الْحَوَائِجُ. Singkatnya, Nabi Muhammad bukan secara mutlak memiliki kemampuan memberikan keinginan-keinginan karena Allah-lah yang melakukan hal itu yang dalam kalimat tersebut disembunyikan. Fa’il tidak disebutkan karena dianggap sudah diketahui.
Alhasil, dapat dipahami bahwa tuduhan adanya unsur syirik pada kalimat-kalimat tersebut sesungguhnya amat sangatlah keliru. Sebab, kemampuan melepas kesulitan, menghilangkan bencana/kesusahan, memenuhi kebutuhan, dan mengabulkan keinginan-keinginan secara mutlak hanya dimiliki Allah. Dan ini pula yang dimaksudkan pengarang shalawat Nariyah, dengan susunan redaksi shalawat yang tidak sembrono. Hanya saja, dalam redaksi shalawat Nariyah tersebut diimbuhkan kata bihi yang berarti melalui perantara Rasulullah SAW, sebagai bentuk tawassul.
Bahasa Arab dan bahasa Indonesia memang memiliki logika khas masing-masing. Karena itu analisa redaksi Arab tanpa meneliti struktur bakunya bisa menjerumuskan kepada pemahaman yang keliru. Lebih terjerumus lagi, bila seseorang membuat telaah, apalagi penilaian, hanya dengan modal teks terjemahan. Wallahu a’lam.