TendaBesar.Com - Jakarta - Kasus pembunuhan berencana Brigadir J alias Nofriansyah Yosua Hutabarat yang melibatkan otak pembunuhan yakni terdakwa Ferdy Sambo dan Putri Candrawathi terus bergulir. Meski melelahkan persidangan kasus tersebut terus dikebut oleh pengadilan dan menghadirkan berbagai saksi dari kedua belah pihak.
Kali ini giliran Ahli hukum pidana dari Universitas Islam Indonesia (UII), Mahrus Ali, yakni saksi ahli meringankan atau A de Charge, yang dihadirkan oleh kuasa hukum kedua terdakwa. Dalam kesaksiannya Mahrus menilai bahwa tidak adanya bukti hasil visum bagi korban kekerasan atau pelecehan seksual bukan berarti menghilangkan tindakan kejahatan yang dialaminya.
Seperti diketahui pada perkara dugaan pembunuhan berencana Brigadir J untuk terdakwa Ferdy Sambo dan Putri Candrawathi, keduanya didakwa melanggar Pasal 340 subsider Pasal 338 KUHP juncto Pasal 55 KUHP dengan pidana paling berat sampai hukuman mati
Mahrus mengatakan bahwa hasil visum hanya salah satu bukti yang kerap dipakai oleh korban dalam kasus tersebut.
Keterangan itu Mahrus sampaikan dalam lanjutan sidang perkara pembunuhan berencana Brigadir J alias Nofriansyah Yosua Hutabarat di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Kamis (22/12/2022).
"Di dalam kasus-kasus kekerasan seksual dalam perspektif victimology itu sering kali terjadi di ruang-ruang privat sehingga apa pasti harus miliki bukti. Satu-satunya bukti yang biasa dihadirkan oleh jaksa biasanya visum, tetapi kalau visum enggak ada gimana?. Pertanyaan saya begini, visum itu enggak ada terkait dengan tantangan yang lebih berat yang dihadapi jaksa untuk membuktikan. Tapi dia tidak menghilangkan tidak adanya kejahatan (seksual)," papar Mahrus di hadapan majelis hakim.
Lantas Mahrus mengatakan bahwa pengusutan kasus kekerasan seksual harus dilakukan sesuai perspektif korban. Sebab banyak faktor yang mempengaruhi korban tidak melakukan tes visum.
"Bisa saja menunjukkan bahwa korban kekerasan seksual saat melapor dia akan mengalami victimisasi sekunder atas perlakuan yang tidak senonoh yang tidak enak dari banyak aktor dari sistem peradilan pidana misalnya," kata Mahrus.
Dalam keterangannya mahrus menganalogikan gambaran kekhawatiran yang kerap dialami korban pelecehan seksual ketika kasus kekerasan itu diproses hukum. Di mana, korban sering mendapatkan pertanyaan yang malah menyudutkan dan membuat semakin traumatik.
"Makanya maaf saya agak vulgar, dalam proses misalnya saudara itu berapa kali diperkosa? 5 kali pak, kalau 5 kali itu bukan perkosaan yang pertama perkosaan tapi yang ke 2 ke 5 suka sama suka, saudara menikmati enggak?. Itu pertanyaan-pertanyaan yang sifatnya menjadikan korban menjadi korban kedua kali. Karena pertanyaan yang tidak ramah. Maka kenapa Perma 2016 itu tentang perlakuan yang baik terhadap perempuan," jela Mahrus
Berikutnya Mahrus menyampaikan adanya budaya patriarki yang menambah tekanan untuk korban kekerasan seksual untuk melapor. Lantaran pandangan tersebut yang mengutamakan laki-laki ketimbang perempuan.
"Makanya kasus di Jawa Timur ketika ada seorang bapak perkosa anak sampai anaknya melahirkan ketika terungkap di persidangan. Itu salah satu alasan mengapa tidak berani melapor. Karena keluarganya yang melarang melapor, itu dianggap adalah aib. Ini adalah victimology," papar Mahrus.
Dalam kenyataannya kata Mahrus tidak semua korban kekerasan seksual berani melapor karena adanya banyak faktor pertimbangan yang dikhawatirkan korban. Termasuk dalam hal ini melakukan visum yang khawatir aibnya malah terbongkar. Mahrus menjelaskan bahwa dalam kasus pembuktian kekerasan seksual baik jaksa atau penyidik memiliki banyak opsi lain untuk membuktikan kasus tersebut, tidak harus mengacu pada hasil visum.
"Karena banyak sekali alat bukti yang bisa diarahkan, apa? Psikologi bisa menjelaskan itu, apa contohnya? Orang yang diperkosa pasti mengalami trauma. Enggak ada setelah diperkosa itu ketawa-tawa enggak ada, maka gimana cara membuktikan? Hadirkan saksi psikologi untuk menjelaskan itu," kata Mahrus.