TendaBesar.Com - Jakarta - Lama menghilang dari predaran, politikus senior Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Effendi Simbolon langsung menyenggol pertemuan 4 tokoh. Ia menyindir pertemuan Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dengan Wakil Presiden ke-10 Jusuf Kalla (JK).
Pada saat yang bersamaan Ketua Umum (ketum) Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) bertemu Ketum NasDem Surya Paloh. Diduga pertemuan empat tokoh tersebut sebagai upaya untuk mengalahkan PDIP di Pemilu 2024.
Effendi menyentil pertemuan empat tokoh nasional tersebut yakni AHY-Paloh dan SBY-JK sebagai manuver yang hebat dalam rangka berkolaborasi membentuk kekuatan besar.
"Bisa dong, mantap itu kekuatan besar, berpadu, berkolaborasi," ujar Effendi.
Namun seperti diketahui, Effendi memang sering mengeluarkan pernyataan kontroversial yang membuat gerah lawan politik maupun sesame temannya di kader banteng.
Sederet nama besar pernah menjadi sasaran kritik pedas Effendi. Seperti; Jusuf Kalla Prabowo Subianto hingga Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Pada tahun 2015. Effendi mengkritik kinerja 100 hari pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla. Effendi menilai pemerintahan Jokowi dan Wapres Jusuf Kalla saat itu yang pemerintahannya baru berjalan sekitar 100 hari, banyak meninggalkan celah untuk impeachment atau pemakzulan.
"Siapa pun yang punya peluang menjatuhkan Jokowi, saatnya sekarang, karena begitu banyak celahnya dan mudah-mudahan dua-duanya yang jatuh," kata Effendi dalam sebuah diskusi saat itu.
Effendi mengatakan bahwa arahan-arahan Jokowi saat itu tidak tegas, terlebih dalam konflik KPK vs Polri. Effendi menyatakan bahwa Joko Widodo gagal menengahi konflik antara KPK dan Polri di mana Polri menetapkan Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto sebagai tersangka. Pada saat itu.
Yang lebih pedas bahkan Effendi pernah meminta Jokowi melepaskan jabatannya sebagai presiden lantaran tidak mampu menyelesaikan krisis ekonomi Indonesia. Diperparah lagi dengan membanjirnya tenaga kerja China yang bekerja di perusahaan tanah air.
"Lebih baik Jokowi turun takhta karena tidak bisa menyelesaikan masalah ekonomi. Presiden seharusnya mampu menyelesaikannya bukan menterinya," kata Effendi di Jakarta, Selasa (1/9/2015).
Effendi menilai bahwa keberadaan pekerja asing asal China justru merugikan warga Indonesia. Sebab lapangan pekerjaan yang diperuntukkan untuk warga negara Indonesia malah makin sempit di tengah krisis ekonomi yang melanda.
"Adanya pekerja China di Indonesia justru menghina para pekerja tanah air. Apa yang mau diselesaikan yang ada hanya bikin amburadul," kritik Effendi.
Demikian juga Effendi Simbolon pernah geram dengan Presiden Jokowi yang menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi di tengah masyarakat yang sedang kesusahan. Menurutnya, Jokowi tega menyengsarakan rakyat kecil dengan menaikkan harga BBM tersebut.
"Kok bisa tega gitu loh. Katanya dia dari KPU naik Bajaj tunjukkan energi murah. Mana? Tukang Bajajnya sekarang mau bunuh diri frustasi karena malu," sindir Effendi
Seperti diketahui, pemerintah memutuskan menaikkan harga BBM pada 18 November 2014 waktu itu. Premium dari Rp 6.500 menjadi Rp 8.500 per liter. Sedangkan BBM bersubsidi jenis solar dijual Rp 7.500 per liter atau naik Rp 2.000 dari sebelumnya Rp 5.500 per liter.
Atas kenaikan itu lantas Effendi memprotes keras Wapres Jusuf Kalla (JK) mengapa ngotot menaikkan harga BBM. Tidak hanya JK yang disemprot, Menteri BUMN Rini Soemarno dan Menteri ESDM Sudirman Said juga disebut oleh Effendi menganut paham liberal.
"Saya tidak tahu alasan JK menaikkan BBM, dan mendengar Sudirman Said, Rini itukan orang Pak JK. Tidak ada unsur PDIP. Mazhabnya itu aliran liberal menempatkan komoditas subsidi jadi pasar bebas," kata Effendi di Gedung DPR, Jakarta, Rabu (5/11/2014).
Effendi juga pernah menyerang Prabowo gara-gara absen rapat bersama Komisi I DPR pada 2021 lalu. Effendi saat itu duduk sebagai Anggota Komisi I DPR mitra dari Kemenhan.
Pada saat itu pihak Kementerian Pertahanan (Kemenhan), Prabowo diwakili Wakil Menhan (Wamenhan) M Herindra. Lantas Effendi Intrupsi meminta agar materi digeser hari berikutnya dan disampaikan langsung oleh Prabowo.
"Karena ini RDP, jadi rakernya (rapat kerja) kan hari Rabu. Jadi kenapa tidak digeser saja materi ini, dibawakan menteri di hari Rabu? Jadi, karena kita harus taat, patuh kepada asas juga, sehingga kita tidak hanya mendengar dari sisi penjelasan dari pihak, tapi memang yang punya kewenangan sesuai konstitusi," kata Effendi dalam interupsinya.
Pada kesempatan itu politisi senior PDIP itu menegaskan, agar DPR menggunakan kewenangan untuk memanggil paksa mitra kerja yang mangkir dari rapat. Tak terkecuali Prabowo.
"Rabu kita ada dengan beliau (Prabowo) lagi. Ya dengan catatan pasti hadir, harus. Apa kita harus panggil paksa? Karena Kita punya juga ketentuan panggil paksa, Pak, ada, DPR bisa panggil paksa. Jadi jangan kemudian hampir setahun kita tidak pernah bertemu dengan Menhan di sini," tegas Effendi.
Sebelum Surya Paloh mengajukan duet Anies-Puan kepada Jokowi sebagai bentuk rekonsiliasi nasional, ternyata Effendi telah lebih dulu mengusulkan agar Ketua DPP PDIP Puan Maharani menggandeng Anies Baswedan sebagai Cawapres.
Menurut Effendi, Puan cocok sebagai calon presiden 2024 dan Anies sebagai wakil presiden 2024. Effendi beranggapan sama seperti Surya Paloh bahwa duet Puan-Anies merupakan rekonsiliasi nasionalis dan religius. Meskipun, dia tahu wewenang Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri terkait Pilpres 2024.
Dia menilai Prabowo Subianto tak menarik dijadikan sebagai pasangan di Pilpres 2024. Hal ini karena elektabilitas Prabowo yang stagnan berdasarkan hasil survei sejumlah lembaga survei.
"Saya punya usul, saya bilang, Mbak Puan itu dipasangkannya harus sama Anies. Jangan lagi Prabowo. Jadi Puan capres, Anies cawapres. Ini serius, saya resmi saya mengusulkan (Puan-Anies). Kan ini usul," kata Effendi dalam diskusi virtual medcom.id bertajuk "Puan Iri Hati atau Ganjar Tak Tahu Diri?" pada Ahad 30 Mei 2021.
(saf/tb)